top of page
Search

RUPIAH: SENYUM DAN MURUNG

Writer's picture: JBMI_BlogJBMI_Blog

Kertas segi empat panjang, ukuran setelapak tangan, dan bergambar orang. Seharian kita tidak luput dengan kertas itu. Terkadang, waktu kita habiskan demi yang namanya uang. Bahkan, ada separuh manusia yang seumur hidup mengejar (hanya) lembar kertas uang. Uang itu kertas yang hanya sebentar bersama kita. Pasti selalu silih ganti pemegangnya, masuk-keluar dompet. Masuknya banyak, keluarnya juga banyak. Itulah namanya uang. Berarti kita tidak usah terlalu berpikir tentang uang. Enak aja ya kalau ngomong! Melakukannya yang susah, aku juga selalu stres belum bisa mengaturkan tentang uang.

Dulu waktu kecilku, ketika Lebaran enak banget ada yang selalu kasih uang kepadaku. Sekarang sudah tidak dikasih lagi, ada yang bilang karena aku sudah gede, tidak boleh dikasi lagi. Kenapa dibataskan dengan usia ya, padahal semakin dewasa semakin banyak keluar uang. Recehan uang di hari Lebaran sangat memberatkan dompetku. Pernah satu ketika ibuku menghitung uangku, kemudian menukar dengan uang kertas. Aku menangis. Kenapa uangku jadi sedikit dan ringan sekali. Dulu, aku lebih senang uang recehan daripada uang kertas karena berat yang berarti banyak juga kali angkanya. Berbeda dari sekarang. Semakin banyak lembar uang kertas, bertambah juga kesenangan.

Aku punya kebiasaan memegang uang bergambar Raja Thailand. Berbeda dari Indonesia yang bergambar tokoh-tokoh. Nilai tukar mata uang sekarang (Oktober 2019), 1 bath bersamaan dengan 450 rupiah. Lembar kertas mata uang yang paling gede di Thailand 1,000 bath berwarna abu-abu, sedangkan di Indonesia 100,000 rupiah berwarna merah. Berarti 1,000 bath sama dengan 450,000 rupiah. Sekalian aku menukar uang bath, cuma berapa lembar saja dapat banyak lembar rupiah. Perasaanku ketika memakai uang rupiah berbeda dengan uang bath, padahal sudah tahu nilai sejajar uangnya. Malahan, aku tidak terasa sayang untuk mengeluarkan uang rupiah meski angkanya tinggi.


Kemungkinan 100,000/100 ribu rupiah, perasaanku seperti sedang membayar seratus bath saja karena warnanya juga sama-sama merah. Bayangkan anak perantau ketika ke supermarket atau ke toko, apabila melihat harga-harga barang selalu otomatif membandingkan dengan uang bath. Selalu bertanya-tanya teman, “Ini berapa bath?” Pada awal aku di Indonesia, ketika aku ke supermarket aku selalu membuka kalkulator. Harga rupiah dibagi 450 (nilai tukar uang).

Tokoh di lembar kertas uang Indonesia sangat bervariasi. Sekenal saya, uang kertas Indonesia mulai dari angka seribu, dua ribu, lima ribu, 10 ribu, 20 ribu, 50 ribu, dan 100 ribu. Wah! uang kertas Indonesia banyak sekali. Teman-teman pernahkah menyusun urutan uang kertas dari yang jumlah paling besar ke jumlah yang paling kecil, dari seratus ribu rupiah ke seribu rupiah. Bisa dilihat dan diperhatikan, wajah gambar tokoh-tokoh yang ada di lembar uang. Gambar tokoh di kertas uang 100 ribu, ada gambar Sukarno dan Hatta yang lagi bersenyum bersinar memutih, apakah mereka lagi diskusi ya atau mengajak kita bersenyum bersama!


Kita beralih ke seribu rupiah bergambar tokoh Pattimura atau Cut Meutia yang wajahnya tidak senyum. Kemudian kita membandingkan dengan kehidupan, sudah punya uang hanya seribu rupiah malah melihat gambarnya tidak senyum, semakin menderita bukan! Begitulah juga dengan hidup, semakin kecil angka uang kebahagiaannya juga semakin berkurang.


Kalau uang kertas rupiah dari nilai terkecil hingga terbesar itu, semua terkumpul di dalam dompet, apakah tokoh-tokoh mereka sedang diskusi, ngobrol, dan bertengkar sesamanya ya! Atau mereka berbisik pada kita kalau mereka merasa kepanasan dan lemas di dompet. Berarti kita harus sering mengeluarkannya, apalagi kalau mengeluarkannya di tempat dingin yang ada AC. Kapan-kapan kita bawa saja uang jalan-jalan, semakin banyak mengeluar berarti kita juga banyak menyenangkan tokoh-tokoh juga.


Di kasir supermarket, setiap uang ditaruh di kotak yang sudah tersekat. Ada kotak untuk uang 100 ribu, 20 ribu, 10 ribu, sehingga ada kotak untuk recehan juga. Diskriminatif banget kan! Kasian ya tokoh-tokoh di situ. Tugas kasir lebih memperhatikan angka yang ada di layar komputer atau angka yang ada di lembaran kertas? Dia kalau melihat uang kertas hanya sepintas warna saja, pasti tidak melihat gambar tokoh. Angka yang paling tepat adalah di layar komputer. Nasib para tokoh dan pahlawan pembentuk sejarah Indonesia tidak ada artinya bagi kasir dan pengguna uang yang tidak menghormati jasa-jasa pahlawan.


Pemerintah menaruh gambar tokoh di lembaran uang yang gagal dihormati dan dimuliakan. Uang adalah untuk belanja, jika kita mengeluarkan uang di jalan yang tidak baik, seperti membeli makanan yang haram berarti kita menukarkan Sukarno dan Hatta dengan yang tidak halal. Bayangkan bagaimanakah perasaan mereka, seperti dia juga ikut terlibat ke jalan yang tidak baik. Eh, itu para koruptor mengajak bapak bangsa korupsi!


Tapi, bisa juga kita menukarkan senyuman Sukarno dan Hatta ke jalan yang baik, seperti menginfakkan sepuluh lembar Soekarno Hatta tersenyum untuk membangun rumah anak yatim. Perasaan menggunakan uang di jalan yang baik seperti sedang mengantar Pak Karno dan Pak Hatta ke surga jugakan.


Pada hari aku sedang menulis tulisan ini, kebetulan temanku Faisarl mendapat honor selembar senyuman Sukarno dan Hatta karena tulisan yang dimuat di harian Solopos. Kemudian, Faisarl membagi senyuman kepada teman-temannya dengan berupa tujuh piring santapan dan delapan gelas. Sekaligus membagi senyuman kepada ibu pemilik warung. Suasana ini menjadi kisah kenangan yang terindah sekali.


Sedikit-banyak uang hanya masalah yang kecil saja, mengatur dan merencanakan itulah masalah yang besar. Benar sih pepatah yang mengatakan “เงินไม่สามารถซื้อความสุขได้” (uang tidak bisa membeli kebahagiaan), tapi coba kita rasakan memegang sepuluh lembar uang seribu rupiah dibandingkan dengan mempunyai sepuluh lembar uang 100 ribu rupiah, yang manakah lebih membahagiakan! Tidak semestinya tidak punya uang, tidak bisa hidup. Bandung Mawardi berkata, “Aku sejak remaja tidak pernah punya dompet. Dulu aku tidak pernah dapat uang saku dari orangtuaku, tidak ada kebiasaanku makan beli jajan. Tetap berangkat sekolah, naik sepeda pulang-pergi ke sekolah. Suatu hari sepedaku dijual karena untuk membeli obat bapakku yang lagi sakit. Jadi terpaksa berjalan kaki ke kampus. Tapi, beruntung ada Pak Agus, dosenku yang selalu memperhatikanku.” Cerita Bandung Mawardi yang tidak punya uang, menunjukkan bahwa tidak menjadi tantangan baginya dalam mengejar ilmu.


Kebahagiaan hidup itu kita yang tentukan. Ada juga keluarga yang miskin, tapi mereka hidup bahagia. Keluarga yang kaya, tapi hidup mereka bisa juga sengsara. Kebalikan dari dua keluarga itu juga bisa terjadi, ada keluarganya sudah miskin, malahan hidup saling bertengkar dan keluarga yang kaya bertambah pula mereka hidup bahagia. Itu membuktikan bahwa, cara menyelesaikan situasi masalah hiduplah yang akan membawa kita tercapai kebahagiaan.


Tentu fungsi uang bisa mencapai apa yang kita inginkan, namun tidak selalu bentuk objek yang bisa sentuh. Wujudnya bisa hadiah kebatinan pada diri sendiri. Kita dapat mengeluarkan uang untuk kebahagian banyak orang. Abdulrahman Bin Auf adalah salah seorang sahabat Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam yang mendapatkan rekomendasi masuk surga karena beliau dermawan dan dan tinggi keikhlasan. Kisah kekayaan Qarun, diakhiri kematiannya dengan azab Allah. Qarun dia adalah hartawan, tapi dia memilih kesombongan daripada jalan yang baik.


Penulis:Halimoh Ha

Mahasiswa Jabatan Bahasa Melayu, Universitas Fatoni

60 views0 comments

Recent Posts

See All
A4

A4

Comments


Post: Blog2_Post

Subscribe Form

Thanks for submitting!

©2019 by Jabatan Bahasa Melayu,Fatoni University. Proudly created with Wix.com

bottom of page